Yudi Latif
Sila pertama Pancasila meyakini bahwa semangat ketuhanan memiliki signifikansi yang kuat bagi perwujudan kemaslahatan dan kebahagiaan hidup bersama. Dengan pemahaman yang mendalam, setiap ajaran dan ritual keagamaan mengandung pesan moral yang kuat tentang bagaimana derajat kemanusiaan ditinggikan dan tertib sosial diwujudkan.
Kita bisa melewati jalan keagamaan menuju perwujudan cita-cita nasional dengan menangkap pesan moral ibadah haji dalam perjalanan menuju Idul Adha. Ali Shariati melukiskan makna simbolik ibadah haji itu ibarat drama kolosal yang menampilkan gerak kehidupan manusia secara simultan: gerak kembali dan gerak kembara. Yang pertama menampilkan kepulangan manusia dari “rumah kehidupan” menuju “rumah Ilahi” (gerak keimanan). Yang kedua menampilkan pengembaraan manusia dari “rumah ilahi” menuju “rumah kehidupan” (gerak pengorbanan).
Gerak kembali ke rumah Ilahi dilalui lewat prosesi ”haji kecil” (umrah) dengan serangkaian ritual: ihram, tawaf dan sai, yang mengingatkan doktrin persamaan dan persaudaraan manusia di depan Sang Pencipta. Dengan ihram, jamaah haji menanggalkan pakaian sehari-hari di Mikat, digantikan pakaian serupa berwarna putih tanpa jahitan; yang melambangkan pelucutan simbol status dan perbedaan sebagai batas palsu yang menyebabkan perpecahan di antara umat manusia.
Dengan tawaf, setiap “aku” harus lebur menjadi “kita”, hanyut dalam arus gelombang manusia yang berputar mengitari Kabah. Untuk dapat menghampiri Allah, setiap individu harus menghampiri manusia. Tanpa tindakan kemanusiaan, kesucian ketuhanan tak bisa direngkuh. Dengan sai, jemaah berlari-lari kecil antara bukit Safa (cinta murni) menuju Marwa (idealitas dan altruisme); memerankan kembali heroisme Siti Hajar, seorang hamba berkulit hitam yang berjuang mengatasi rintangan “pembedaan”, dengan mencari air kehidupan untuk menyelamatkan masa depan (Ismail).
Gerak kembara menuju rumah kehidupan dilalui melalui prosesi “haji besar” dengan serangkaian ritual: wukuf, melontar jumrah, dan menyembelih hewan kurban. Pada 9 Dzulhijjah, jemaah haji meninggalkan “rumah Allah” menuju Padang “Arafah” (pengetahuan). Seharian, jamaah haji berhenti (wukuf) di sini, berjemur di bawah terik matahari, membiarkan kepicikan egosentrisme terbakar oleh terang pengetahuan. Bersama sinar mentari yang tenggelam, mereka bergerak menuju Mina (cinta) melalui persinggahan hening malam di Masy’ar (kesadaran). Menyongsong matahari terbit 10 Dzulhijjah, bertepatan dengan ‘Idul Adha, mereka menuju Mina. Di sini mereka melontar jumrah; perlambang penghancuran berhala-berhala yang merenggut kebenaran dan kemanusiaan.
Akhirnya, kecintaan kepada kebenaran dan kemanusiaan itu diuji dengan kesediaan berkorban demi keadilan dan kesejahteraan bersama, disimbolkan dengan penyembelihan hewan kurban. Inilah fase tertinggi dan terberat dalam perjuangan. Seberat Ibrahim yang harus tega mengorbankan anak tercinta, yang dengan susah payah ia dapatkan.
Sekiranya warga dan penyelenggara negara mampu menghayati dan mengamalkan pesan moral ibadah haji, kita memiliki modal kejiwaan yang kuat untuk memperbaiki kehidupan bersama. Demokrasi Pancasila menghendaki perwujudan cita-cita nasional dengan memperjuangkan cita kedaulatan rakyat yang dapat memperkuat persatuan dan keadilan. Untuk bisa mengemban kedua misi itu, diperlukan jiwa pelayanan (pengorbanan), untuk menjadi sesuatu yang lebih besar dari kepentingan diri dan golongan.
Untuk penguatan sayap persatuan, Indonesia telah memiliki modal konektivitas antaridentitas dengan pencapaian hebat bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Jaringan konektivitas secara vertikal dalam kesamaan identitas kultural relatif bisa dirajut oleh partai politik dan organisasi kemasyarakatan bercorak aliran.
Hal yang perlu lebih dikembangkan adalah jaring-jaring konektivitas secara horisontal, yang bisa menjadi wahana penghubung antaridentitas. Dalam hal ini, rezim politik kebijakan harus lebih mempromosikan ruang-ruang perjumpaan melalui kelompok-kelompok masyarakat sipil dan asosiasi-asosiasi terbuka yang dapat menggalang ruang-ruang interkoneksi antaridentitas.
Selain itu, identifikasi kedirian (golongan) pada komunitas politik nasional tidak bisa hanya mengandalkan pada pemilihan berbasis suara perseorangan. Amerika Serikat contoh negara yang mengandalkan pilihan demokrasi mayoritarian tidak mampu menyelesaikan problem pembelahan rasial. Karena itu, melampaui representasi hak-hak liberal-individual, identifikasi dan integrasi kebangsaan memerlukan akomodasi golongan marjinal dalam representasi politik. Penguatan imajinasi dan integrasi nasional juga memerlukan komitmen untuk menjaga birokrasi sebagai tulang punggung integrasi nasional dari kecenderungan politisasi yang bisa mendistorsikan watak layanan inklusifnya.
Untuk penguatan sayap keadilan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Pelayanan publik masih belum bisa diakses secara setara. Pada masa pandemi, kesenjangan akses terhadap public goods itu begitu terasa. Betapa banyak anak-anak di wilayah pinggiran yang terputus akses pembelajarannya karena ketaktersediaan sarana-prasarana teknologi pendukung.
Pelayanan publik yang harus dikembangkan tidak sebatas infrastruktur keras, seperti jalan, jembatan, transportasi, bangunan dan lain sejenisnya, melinkan juga infrastruktur lunak, seperti pendidikan, budaya, informasi, kesehatan dan sejenisnya. Jaring-jaring pelayanan publik yang mampu menjangkau khalayak secara lebih merata akan menguatkan imajinasi persemakmuran bersama.
Jaring-jaring pelayanan publik ini harus terhubung dengan kerangka pembangunan kemakmuran yang inklusif. Agar menjadi “makmur”, suatu perekonomian harus bisa menciptakan nilai tambah secara berkelanjutan yang bisa meluaskan mobilitas vertikal secara lebih inklusif. Untuk itu, Indonesia harus keluar dari jebakan ekonomi ekstraktif menuju ekonomi berbasis pengetahuan.
Kedirian yang terhubung dengan jaring-jaring penguatan persatuan dan kesejahteraan umum itulah pesan moral Idul Adha bagi kebahagiaan hidup bersama.
Tulisan ini pernah dimuat pada harian Kompas, 31 Juli 2020