Mengenang Cak Nur
SUKIDI Kandidat PhD Studi Islam di Universitas Harvard, AS Sabtu (27/8) ini, Omi Komaria Madjid selaku Ketua Pembina Nurcholish Madjid Society menyelenggarakan haul ke-11 atas wafatnya Nurcholish Madjid alias Cak Nur pada 29 Agustus 2005. Peringatan tahunan ini menjadi momentum untuk mengenang kembali figur Cak Nur yang telah mendedikasikan
KEMULIAAN
Abu Yazid Al-Busthami, sufi besar persia, sedang berjalan bersama sekelompok muridnya memasuki lorong sempit. Seketika ada anjing mendekat dari arah berlawanan. Abu Yazid mundur memberi jalan pada anjing. Seorang muridnya tak sepakat dengan dalih ‘Allah Mahabesar telah memuliakan manusia di atas semua makhluk-Nya.’ Sedang Abu Yazid adalah ‘raja’ di antara
Bangsa Bernilai
Yudi Latif Paus Fransiscus menemukan alam terkembang sebagai guru. “Sungai tak minum airnya sendiri; pohon tak makan buahnya sendiri; kembang tak pancarkan aroma bagi dirinya; mentari tak bersinar bagi dirinya. Hidup bagi orang lain adalah suatu hukum alam. Kita terlahir untuk saling membahagiakan.” Manusia tercipta lebih istimewa, mengemban misi perawatan
Gagasan Nurcholish Madjid, Ternyata Tetap Aktual hingga Kini
Ahmad Gaus AF Nurcholish Madjid, di antara intelektual Muslim Indonesia yang karyanya monumental. Islam Doktrin dan Peradaban, merupakan buku karya Cak Nur, panggilan akrab tokoh kelahiran Jombang 17 Maret 1939 ini, paling mengesankan. Sejumlah pemikiran berusia lebih muda, menjadi pelanjut perjuangan pemikiran Cak Nur. Seorang di antaranya, Ahmad Gaus AF, yang menulis
Watak Tiranik Kita
Fachrurozi Majid Direktur Eksekutif Nurcholish Madjid Society Entah apa yang menjangkiti hati kita saat ini. Kita mudah sekali tersinggung dan gampang tersulut amarah. Aroma kebencian terus menyeruak dalam pergaulan sosial, seolah tak ada ruang untuk berbagi dengan orang lain. Yang dulu berteman, perlahan mulai berjarak lantaran merasa tak lagi


