Yudi Latif
Dalam hal pembangunan kenegaraan (state building), yang tidak selalu sebangun dengan pembangunan kebangsaan (nation building), capaian negara Indonesia boleh dikatakan tertinggal puluhan abad, yang membuatnya tak pantas menyandang predikat negara demokrasi modern.
Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay (2014) menggambarkan eksistensi negara demokrasi modern sebagai negara dengan tertib politik berkat kehadiran tiga elemen kunci: organisasi politik dan pemerintan yang bersifat impersonal, pemerintahan hukum (rule of law) dan akuntabilitas demokratis (democratic accountability).
Dalam negara pramodern, watak negara bersifat patrimonial, yang memperlakukan negara dan administrasi pemerintahan sebagai milik dan perpanjangan tangan penguasa beserta kerabat dan teman-temannya. Kemunculan negara modern ditandai oleh pergeseran organisasi politik dari hubungan-hubungan personal berbasis kekerabatan dan perkoncoan menuju relasi tata kelola yang bersifat impersonal. Secara embrionik, fenomena negara modern itu mulai muncul di China sekitar tiga abad Sebelum Masehi, dengan memperkenalkan sistem perekrutan aparatur sipil negara berdasarkan kriteria-kriteria impersonal, seperti merit, pendidikan dan pengetahuan teknis dengan sistem seleksi berbasis ujian.
Ditilik dari sudut itu, negara Indonesia sejauh ini masih memperlihatkan sifat-sifat patrimonialnya. Mulai dari kepemimpinan kepartaian, pemerintahan daerah, pejabat negara, hingga perekrutan aparatur sipil negara masih pekat diwarnai oleh hubungan-hubungan personal keturunan, kekerabatan dan perkoncoan. Demokrasi tidak diikuti oleh meritokrasi, malahan memperkuat oligarki dengan menunggangi prosedur-prosedur demokrasi.
Negara modern yang bersifat impersonal itu memerlukan penegakkan pemerintahan hukum (rule of law). Secara serderhana, rule of law bisa dipahami sebagai tegaknya aturan-aturan yang mengikat siapapun tanpa pandang bulu, bahkan bagi aktor-aktor politik yang paling berkuasa sekalipun. Penegakkan dan ketaatan hukum bersifat impersonal, bukan karena deal-deal yang bersifat personal.
Ditilik dari sudut itu, negara Indonesia juga belum bisa dikatakan sebagai pemerintahan hukum yang sehat. Tendensi personalisasi hukum masih mewarnai segala tingkatan. Wacana publik masih banyak mengeluhkan fenomena tebang pilih dalam penegakan hukum; termasuk perlakuan hukum yang bersifat tajam ke bawah, tumpul ke atas. Perlawanan atas penegakan hukum dari aparatur penegak hukum dan orang-orang kuat lainnya juga masih bisa dirasakan meski sulit dibuktikan.
Akhirnya, suatu pemerintahan demokratis dalam suatu negara tanpa meritokrasi dan pemerintahan hukum yang kuat akan sulit mengemban akuntabilitas demokratis. Konsepsi akuntabilitas demokratis menempatkan setiap warga negara dalam kedudukan dan hak yang sama, yang patut mendapatkan pelayanan publik yang setara. Akuntabilitas demokratis, oleh karena itu, perlu menjamin keadilan, baik secara horisontal (bagi segenap generasi saat ini) maupun vertikal (bagi generasi mendatang), yang menuntut pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Akuntabilitas demokratis bukan saja harus mendengar aspirasi warga negara dari segala lapisan dan golongan, tetapi juga “aspirasi” dari lingkungan hayati flora dan fauna sebagai penopang keberlanjutan kehidupan. Apalagi, bagi kehidupan suatu bangsa di sepanjang lingkaran cincin api dengan tingkat ancaman kebencanaan yang tinggi. Ketulian untuk tidak mendengar “suara alam”, bisa mendatangkan petaka bagi tertib sosial-politik.
Di titik ini, akuntabilitas yang kita perjuangkan tidak cukup bersifat demokratis dengan bias antroposentris (hanya mendengar aspirasi manusia), tetapi harus meluas menjadi kosmokratis (mendengar aspirasi semesta alam). Namun, apabila pertanggungjawaban yang besifat demokratis saja belum ditunaikan secara baik, apalagi pertanggungjawaban yang bisa merespon aspirasi alam.
Tali-temali antara defisiensi watak negara, pemerintahan hukum dan akuntabilitas demokratis itulah yang membuat negeri ini jadi surplus bencana. Kita cenderung cepat menuding faktor alam sebagai biang kerok. Padahal, di balik berulangnya kecelakaan pesawat, kebakaran hutan saat kemarau, banjir bandang saat hujan, secara umum bisa ditemukan kaitannya dengan kelemahan tata kelola negara, penegakkan hukum, dan akuntabilitas publik. Manusia terlahir bukan binatang yang tunduk semata terhadap kondisi alam, tetapi juga bisa mempelajari dan merespon tantangan alam, tanpa merusaknya. Alhasil, kalau ada bencana yang ditimbulkan faktor alam, kesalahannya tidak melulu ditumpukan pada alam, tetapi juga pada kapasitas kita untuk mengatasi masalah alam.
Salah satu cara untuk merespon berbagai bencana ekologis itu adalah dengan menghadirkan struktur politik yang bersahabat dengan lingkungan, melalui penguatan budaya demokrasi ekosentris yang berwatak “hijau”. Untuk itu, pelembagaan demokrasi musyawarah (konsensus-deliberatif) yang sejati merupakan wahana yang tepat. Dalam pandangan Robyn Eckersley (2004), sifat terbuka dari prosedur demokrasi musyawarah yang mengamodasi berbagai bentuk representasi rakyat (tak hanya representasi parpol), seraya lebih mementingkan rasionalitas argumen dan kearifan, lebih memungkinkan diterimanya nilai-nilai etis-ekologis.
Perspektif jangka pendek dari para pengambil keputusan dalam sistem demokrasi liberal membuat pertimbangan lingkungan ditinggalkan dalam kompetisi untuk memenangkan kepentingan dan kekuasaan. Karena itu, apabila demokrasi benar-benar ingin memasukkan pertimbangan lingkungan, harus dipastikan bahwa musyawarah (bukan kompetisi asal menang) yang menjadi penentu dalam struktur maupun proses pengambilan keputusan dalam berdemokrasi.
Tulisan ini telah dipublikasikan di harian Kompas, 28 Januari 2021.