Komitmen kepada Kemajemukan

Fachrurozi Majid

 

Rabu siang, 26 Februari 2020, Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Sekretaris Jenderal Rabithah al-‘Alam al-Islami alias Liga Muslim Dunia, Syekh Mohamamed Abdulkarim al-Essa.

Syekh Mohammed mengungapkan rasa bangganya terhadap upaya menghadirkan Islam yang moderat, terbuka, dan berorientasi pada kemajuan yang diupayakan pemerintah Indonesia. Bahkan, negara-negara Islam, katanya, menjadikan Indonesia sebagai contoh negara yang mengedepankan toleransi dan semangat kebersamaan di masyarakatnya.

Memang, kalau melihat kepada kemajemukan dan konsep bernegara negeri ini, Indonesia layak dicontoh. Puluhan tahun silam, di masa-masa awal kemerdekaan—bahkan saat merumuskan dasar negara Indonesia—para bapak bangsa yang berembuk sangat lapang dada, legowo, mengendurkan ego, seraya melepaskan kepentingan primordial. Semua bergotong royong, bahu membahu, bekerja sama untuk satu tujuan bersama.

Jiwa gotong rotong ini telah menjelma sebagai ruh dari setiap rangkaian rencana dan tindakan para pendiri bangsa. Bahkan kemerdekaan yang diraih merupakan kerja sama apik seluruh komponen bangsa, bukan karena peran golongan atau perserorangan. Kolaborasi, pengertian pada sesama, saling menghormati pandangan, sikap, dan keyakinan, benar-benar menjadi praktik sehari-hari para elit negeri. Maka tak mengherankan mereka menghasilkan satu karya “Dasar Negara” yang sangat apik, yang mewakili suara semua golongan di negeri majemuk ini.

Namun, jika melihat situasi Indonesia belakangan ini perasaan kita berbeda. Terutama kalau melihat begitu menjamurnya kasus-kasus intoleransi, pembiaran persekusi terhadap kelompok minoritas, dan gangguan terhadap mereka yang hendak beribadah di negeri ini, rasanya apa yang disampaikan Syekh Mohammed masih bisa diperbedatkan.

Negara oleh banyak kelompok pro-demokrasi dan pembela masyarakat majinal dianggap terlalu lembek bersikap terhadap kelompok-kelompok intoleran. Kekurang tegasan ini justru menjadi celah bagi kelompok-kelompok intoleran dan radikal untuk melanggar aturan dan berbuat sewenang-wenang lebih jauh lagi.

Hebatnya, di negeri ini masih banyak kelompok civil society yang terus membangun harmoni dan menggemakan moderasi beragama. Kalau melihat gerakan masyarakat membangun moderasi beragama, menghadirkan Islam yang terbuka dan toleran, serta berupaya saling memperkuat ikatan kekerabatan melampaui skat-skat suku, agama, dan golongan, rasanya kita masih sangat optimis. Tetapi kepada negara, saat ini sulit sekali rasanya berharap banyak. Negara harus menunjukkan komitmen kepada kemajemukan melalui tindakan nyata bukan sekadar lewat undang-undang, peraturan, atau kesepakatan yang sering kali diabaikan.

Post a comment