Perang Menghancurkan Peradaban

Fachrurozi Majid

 

Tiga hari berziarah ke Hiroshima, beragam informasi bertebaran di muka. Banyak hal baru saya terima saat mendengar pemaparan langsung para korban dan saksi sejarah. Ada nestapa yang mengerikan, ada pula kekaguman lantaran warga yang kompak menghadapi bencana.

Semua mafhum, perang dunia kedua menyisakan banyak nestapa. Hiroshima, salah satu kota di Jepang yang terbilang maju, bahkan menjadi pusat militer paling disegani di dunia, hancur berantakan setelah dihantam bom atom di era perang itu.

Antara 1873-1945, Hiroshima boleh dibilang kota yang maju pesat lantaran memusatkan kebanyakan kegiatan militer di sana. Reklamasi dilakukan, pelabuhan dibangun, kereta api menuju Tokyo pun dibuat. Dari kota itu, armada militer disebar ke seluruh dunia. Dari sana kekuatan militer Jepang makin diperhitungkan.

Pada periode penting itu, Kaisar Meiji sempat tinggal selama 227 hari dan bekerja di Kastil Hiroshima. Hiroshima menjelma menjadi kota maju dan berkembang pesat, malah sempat menjadi Ibu Kota Jepang sementara, sebelum beralih ke Tokyo.

Tetapi semua berantakan setelah bom atom meledak di langit Hiroshima pada 6 Agustus 1945, pukul 8.14. Tiga hari berselang, giliran Nagasaki yang ditiban bom serupa.

Korban dari bom percobaan para ilmuwan Amerika Serikat itu langsung berjatuhan. Hingga Desember 1945, pemerintah Jepang menghitung sebanyak 140 ribu jiwa meninggal di Hiroshima, sementara 170 ribu lainnya di Nagasaki.

Serangkaian pemandangan mengerikan terjadi. Akibat bom atom itu, 55 orang pelajar putri wafat. Hanya dua orang yang berhasil selamat, meskipun di kemudian hari akhirnya meninggal juga akibat terpapar radiasi.

Bom atom bukan hanya membawa korban dari pihak Jepang. Ada banyak warga negara Asia Tenggara yang ikut menjadi korban. Mereka adalah orang-orang terpilih di negara masing-masing yang belajar di sana agar kelak dapat membangun negeri kelahiran. Terhitung sekitar 205 warga negara asing yang tengah menuntut ilmu di Hiroshima meninggal dunia.

Saya menikmati seluruh rangkaian kuliah kemarin. Satu kisah paling menyentuh hati, paling tidak buat saya, adalah respons warga Jepang setelah hancur berantakan. Melihat para korban dengan kondisi mengerikan, mereka berteriak agar militer menghentikan perang. Bukan cuma itu, para murid dan mahasiswa bahu membahu membangun sekolah dan mencari buku-buku agar mereka bisa belajar.

Mereka sadar betul, perang hanya menghancurkan kota dan peradaban. Tak ada keuntungan apa pun. Diktum paling populer di sini adalah “untuk memulai dunia yang damai, harus dimulai dari Jepang sendiri”. Itulah nafas yang dihembuskan Universitas Hiroshima di bawah kepemimpinan rektor pertama, Tatsuo Morito.

Saking pentingnya mewujudkan perdamaian, Universitas Hiroshima yang mulai beroperasi pada 5 November 1949, mengharuskan setiap mahasiswanya mengambil mata kuliah “Perdamaian” agar mengenal apa itu damai dan mengapa damai begitu penting, dengan harapan kelak mereka mampu menjadi duta perdamaian selepas lulus nanti.

Begitulah perang, selalu memakan korban, bahkan bisa menghantam mereka yang sebenarnya sangat ingin kedamaian. Itulah mengapa umat manusia harus selalu berkomitmen untuk tak membenci, menghardik, mencaci-maki atau bercita-cita menguasai yang lain, sebab dari situlah benih perang bersumber. Jika terus dipupuk, rasa benci, tak suka, menganggap perlu menjatuhkan yang lain, akan semakin subur dan menghancurkan.

Post a comment