Fachrurozi Majid
Tahun-tahun pasca-Perang Dunia Kedua, merupakan era di mana kehidupan kota-kota di Jepang berjalan lamban. Trauma akibat bom atom bener-bener belum pulih. Ekonomi pun belum sepenuhnya membaik. Warga Jepang masih berupaya bangkit dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Masing-masing saling menguatkan, menebar narasi positif bahwa kehidupan akan membaik lagi. Inilah yang mereka lakukan ketika krisis mendera saentero negeri.
Di tengah keterbatasan itu, pemerintah Jepang terus membangkitkan kepercayaan diri warganya agar tak menyerah pada kenyataan buruk yang menimpa mereka. Satu upaya yang pemerintah Jepang lakukan yakni membangun Tokyo Tower pada 1958.
Semua tahu, saat itu Jepang sangat terpuruk, mereka miskin sekali, tak memiliki apa-apa, apalagi sumber daya alam seperti Indonesia yang begitu melimpah. Tapi, Jepang punya sumber daya manusia dengan kepercayaan diri yang begitu tinggi kala itu.
Menara Tokyo dibangun dengan ketinggian yang sangat menawan ketika itu: 333 meter. Kita bisa membayangkan, saat terpuruk sekalipun Jepang memaksakan diri—boleh dibilang begitu, sebab dalam kondisi krisis pasca-perang tadi—tetap membangun gedung setinggi itu. Tentu saja dengan biaya tak murah. Jangan bayangkan saat teknologi secanggih sekarang.
Saya mengira-ngira yang dibayangkan pemerintah Jepang kala itu. Apalagi kalau bukan bermaksud memantik kebanggaan warga negaranya agar tetap percaya dan bangkit dari krisis. Betul saja, warga Jepang benar-benar bangga dengan pencapaian itu.
Hingga 2012, Tokyo Tower masih merupakan gedung tertinggi di Jepang hingga kemudian berdiri Tokyo Sky Tree dengan ketinggian 634 m, dua kali lipat lebih tinggi dari Tokyo Tower. Meski begitu, jejak Menara Tokyo ini masih terpatri dalam sanubari warga sebab berhasil membangkitkan semangat warga di mana-mana sulit pasca-perang.
Tokyo Tower kini masih jadi simbol kebanggaan warga Jepang. Mungkin seperti Monas di tahun-tahun sebelum politik identitas mengacaukan semua. Menara ini terus mendapat perhatian warga sekitar, terutama turis yang melancong ke Negeri Sakura. Ya, tentu termasuk saya yang menerobos malam dingin, walau hanya mampu bertahan sebentar di luar karena angin yang berhembus lumayan kencang.