Pembaruan Islam melalui Tradisi

FACHRUROZI MAJIDDirektur Eksekutif Nurcholish Madjid Society

Pembaruan Islam merupakan langkah yang harus diambil agar Islam tetap relevan dan mampu menjawab tantangan zaman. Langkah pembaruan ini telah dirintis salah satunya oleh Nurcholish Madjid atau Cak Nur yang kemudian dilanjutkan oleh kolega dan murid-muridnya. Meski begitu, reformasi Islam harus tetap ditegaskan sebab masalah dan tantangan umat muslim akan berubah seiring perkembangan masa.

Gerakan pembaruan Islam yang dinahkodai oleh Cak Nur, menurut saya, begitu mengesankan banyak kalangan, meskipun tak sedikit mendapat kritik tajam. Lewat gagasannya, Cak Nur menghentak kejumudan berpikir pada masa itu. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman, gerakan pembaruan yang diusung Cak Nur rasanya perlu diinterpretasi ulang.

Angin segar pembaruan Islam mesti diembuskan agar spirit Islam yang sesungguhnya dapat dipahami, sebab inilah tujuan pembaruan Islam sebenarnya. Dan, satu langkah yang harus diambil ialah dengan merujuk langsung ke era Islam awal di mana diskursus pemikiran keagamaan begitu hidup dan terbuka. Dari pengamatan saya, Sukidi adalah satu sarjana pembaru Islam dari kalangan muda yang menyodorkan eksplorasi baru dengan menelusuri tradisi di era Islam awal. Saya melihat iklim pemikiran bagus telah dibawa muazin kebangsaan itu sehingga akan menghidupkan diskursus pemikiran keagamaan di negeri ini.

Bermula dari tradisi

Saat menyelami pemikiran pembaruan Islam, kita akan menemukan spirit pembaruan Cak Nur yang menganjurkan agar kembali kepada al-Quran (al-rujū’ ila al-Qurān) sebagai metode memahami firman Tuhan. Ini bisa dipahami karena Cak Nur banyak dipengaruhi cara pandang Fazlur Rahman dalam membaca al-Quran yakni kembali kepada terma-termanya sesuai istilahnya sendiri. Dalam kerangka ini, al-Quran dipahami sebagai kitab otoritatif, sumber makna, dan sumber pengetahuan.

Metode ini dikoreksi Sukidi sebagai langkah yang tidak mudah karena terdapat kerumitan terkait diksi-diksi dan istilah-istilah di dalamnya. Al-Quran adalah teks tanpa konteks. Ini berpotensi membingungkan pembaca lantaran tak mengetahui sepenuhnya konteks pewahyuan saat ayat demi ayat diturunkan. Artinya, jika langsung kembali kepada al-Quran, tidak akan ditemukan apa pun kecuali menafsirkan sendiri teks-teks al-Quran itu sesuai dengan pikirannya sendiri. Dan, model ini telah mengabaikan tradisi panjang yang telah dirintis para penafsir di masa lampau.

Saya melihat, penulis disertasi The Gradual Quran: Views of Early Muslim Commentators itu tidak mempercayai keyakinan umum tentang adanya makna yang inhern dalam teks-teks al-Quran. Makna tidak ikut serta (given) kala wahyu diturunkan, melainkan hasil kontruksi manusia. Oleh karena itu, tafsir dapat dipahami sebagai ikhtiar penafsir untuk memproduksi makna atas teks-teks Kitab Suci yang sampai ke hadapan umat muslim saat ini. Dengan alasan tersebut, pembaharuan Islam akan lebih terang manakala ditempuh melalui jalur tradisi, yakni dengan menggali khazanah tafsir al-Quran yang beragam dan terbuka

Makna sebagai Konstruksi Penafsir

Karena makna tidak inhern dengan teks al-Quran, perlu penafsir untuk menyibak misteri pewahyuan. Dalam hal ini pandangan para penafsir di masa awal Islam—sekitar 200 tahun pada fase Islam formatif—adalah otoritatif dan layak menjadi rujukan dalam memahami teks-teks al-Quran. Ini lantaran hidup mereka relatif dekat dengan fase pewahyuan, ikut menjaga kelestarian al-Quran dengan keimanan, membacanya dengan kreativitas, dan memproduksi maknanya secara inovatif.

Salah satu penafsir yang membuktikan bahwa makna merupakan hasil pemikiran para penafsir ialah Muqātil ibn Sulaimān (702-767 M). Muqātil memang tidak populer di kalangan Muslim, meskipun ia satu-satunya penafsir di awal Islam yang menulis karya tafsir secara utuh (terbit 4 volume). Bahkan sebelum penafsir paling terkemuka, Ath-Thabari (839-923 M), melahirkan karya tafsir yang menjadi induk para ahli tafsir berikutnya.

Satu contoh produksi makna yang beragam nampak pada penafsiran surat al-Najm [53]: 1, “wa al-najm idhā hawā.” Akibat pengaruh paham ortodoksi Islam, ayat ini ditafsirkan sebagai sumpah Tuhan “demi bintang ketika ia terbenam/terjatuh.” Al-Suddi (w. 745) menafsirkan al-Najm sebagai venus (Az-Zuharā), sementara Mujāhid ibn Jabr (w. 720) memaknainya sebagai bintang Ath-Thurayya.

Pemaknaan al-Najm sebagai bintang nampak stabil dan tetap dalam kerangka ortodoksi Islam. Jika mengeksplorasi makna-makna lain yang dirujuk penafsir Ja‘far al-Sādiq (702-765 M), dalam Kāmil al-Tafsīr al-Sūfi al-Irfāni li al-Qur’ān (2002:159), al-Najm berarti Muhammad; ketika dia turun, [maka] cahaya-cahaya terpancar darinya;” dan Sahl ‘Abd Allāh Al-Tustari (818-896 M) dalam Tafsīr al-Qur’ān al-Azīm (1908:145) memaknainya: “Demi Muhammad ketika ia kembali dari langit.” Kedua penafsir terkemuka itu memproduksi makna esoterik dengan merujuk kepada Muhammad yang baru saja kembali dari pengalaman spiritual di malam mi‘rāj.

Tak berhenti di sini, eksplorasi terhadap kata al-Najm dengan makna turunnya al-Quran secara gradual dilakukan melalui rujukan otoritas penafsir Al-Quran, mulai dari Ibn Abbās, Zayd b. ‘Alī, Muqātil, sampai al-Farrā’.

Dari uraian di atas, dapat kita pahami bahwa pemaknaan terhadap al-Quran yang berbeda, dinamis, dan kontradiktif ini merupakan hasil interpretasi para penafsir, bukan berasal dari Tuhan. Dengan kata lain, makna merupakan produk pemikiran para penafsir yang dapat muncul di setiap periode berbeda dengan arti-arti yang tak sama. Keragaman makna ini lahir sebagai usaha manusia untuk memahami firman Tuhan.

Dengan menjabarkan bukti-bukti baru para penafsir di periode awal Islam itu, saya melihat argumentasi yang diajukan Sukidi semakin kuat mengenai pembaruan Islam lewat tradisi, yakni dengan menggali khazanah tafsir al-Quran yang beragam dan terbuka. Interpretasi para penafsir di awal Islam adalah paling otoritatif, sebab mereka hidup dalam periode yang dekat dengan fase kenabian, mengetahui al-Quran secara lebih baik, dan mengerti situasi zaman ketika wahyu diturunkan.

Memperbarui Islam melalui tradisi tafsir yang multivokal merupakan langkah tepat, karena para penafsir adalah kelas ‘ulamā’ penting dalam sejarah Islam yang mampu menjembatani umat dalam memahami makna dan pesan al-Quran secara otoritatif.

Metode yang diajukan Sukidi merupakan langkah yang layak diapresiasi sebagai ikhtiar intelektual baru. Namun, kita perlu memahaminya secara kritis sekaligus mendalaminya agar diskursus pemikiran pembaruan Islam tetap dialektis dan dinamis. Karena sesungguhnya, setiap pemikiran selalu menyisakan ruang kosong untuk dikritisi agar dinamika pemikiran bergulir.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/20/pembaruan-islam-melalui-tradisi

Post a comment