Oleh Eep Saefulloh Fatah
Bintang paling cemerlang di langit intelektual Indonesia itu – Dr. Nurcholish Madjid alias Cak Nur – redup sudah. Senin, 29 Agustus 2005, pukul 14.05, di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta, Cak Nur dipanggil Tuhan pulang. Bukan hanya kita di Indonesia yang berduka. Seluruh umat manusia pembela pluralisme dan kebebasan berpikir selayaknya kehilangan.
Setiap upaya mengenang tokoh besar sekaliber Cak Nur hampir selalu diintip ancaman dua persoalan: menggelembungkannya menjadi begitu besar sehingga yang terpotret bukanlah sosok historis melainkan mitologis; atau mempreteli dan memotretnya dari salah satu dimensi kecilnya sehingga sang tokoh terbonsaikan. Keduanya mengidap persoalan yang kurang lebih serupa: kegagalan memahami sang tokoh dan memosisikannya dalam centang perenang hidup kebangsaan kita.
Jika saja masih hidup, Cak Nur akan menjadi orang pertama yang berupaya habis-habisan menghindari dua kemungkinan kekeliruan itu. Cak Nur adalah penganjur teguh keharusan memahami keadaan – termasuk sosok-sosok di dalamnya – secara seksama dan cermat berbasiskan kesahajaan fakta, kejujuran, dan objektivitas. Maka, bukan hanya ceramah-ceramah agamanya yang terasa sejuk, analisis dan kesaksian Cak Nur atas keadaan hampir selalu tepat dan mencerahkan.
Maka, bagi saya, peran Cak Nur yang tetap penting melintasi batas usia hidupnya adalah pemelihara ingatan. Sampai dengan akhir hayatnya, Cak Nur terus terjaga untuk memahami kemarin, hari ini dan esok secara seksama. Sebagaimana St. Agustinus, ia memahami waktu sebagai tiga lipat masa kini: Masa lampau sebagai memori masa kini, masa kini sebagai arena kerja keras, dan masa depan sebagai harapan masa kini.
Bagi saya, salah satu ajaran terpenting Cak Nur adalah anjurannya agar kita memenangkan perkelahian melawan waktu. Berbaik-baik dalam perkelahian dengan masa lalu, berbaik-baik berkelahi dengan banyak persoalan hari ini. Berbaik-baik merumuskan dan merebut esok.
Di tengah krisis ekonomi 1997 – yang kemudian membidani kelahiran reformasi – Cak Nur sempat mengajukan konsep Khusnul Khotimah. Di tengah samudra cacian atas Orde Baru dan terutama Suharto, Cak Nur justru mengingatkan perlunya memahami aspek baik dan buruk Orde Baru dan Suharto secara proporsional. Dengan modal itu, Cak Nur menyarankan agar Suharto diberi jalan yang lapang untuk mengkahiri kekuasaannya secara baik.
Sejak masa itu, Cak Nur juga mengingatkan pentingnya merumuskan bangunan rekonsiliasi nasional yang layak bagi Indonesia. Ia termasuk salah seorang yang gigih mengajak tak melupakan masa lalu yang kelam tapi sambil menganjurkan agar semua pihak mengumpulkan ruang maaf yang luas atas masa lalu yang penuh keliru.
Cak Nur mengkampanyekan rumusan rekonsiliasi semacam itu sambil tetap mengingatkan betapa pentingnya “batas”. Masa lalu dan hari ini mesti dijaga oleh batas yang tegas. Jika tidak, kita sebagai bangsa akan dengan mudah terjerumus ke dalam lubang yang sama berkali-kali. Maka, rumusan Cak Nur tentang masa lampau kurang lebih adalah: jangan pernah lupakan, maafkan dan dirikan batas tegas.
Bagi sebagian orang, di tengah euforia reformasi masa itu, anjuran Cak Nur boleh jadi terasa lunak. Tapi, setelah reformasi berjalan lebih dari tujuh tahun, terbukti bahwa rumusan itulah yang sejatinya paling layak untuk demokratisasi Indonesia dengan segala konteksnya. Sayangnya, tujuh tahun lebih kita alpa pada anjuran Cak Nur itu. Banyak kesempatan emas bagi rekonsiliasi akhirnya lenyap tertelan waktu.
Tentang “hari ini”, Cak Nur terus mengkampanyekan perlunya sikap realistis dalam menjalani demokratisasi. Sambil menimbang modal sosial-politik-ekonomi bagi demokrasi yang kita miliki, ia kerap mengingatkan betapa demokratisasi Indonesia tak akan mudah, murah, sederhana, dan sebentar. Ia menganjurkan agar Indonesia ikhlas menerima hasil demi hasil dari setiap tahapannya tanpa tergopoh-tergesa hendak memetik hasil besar, dramatis, sekejap.
Pemikiran Cak Nur tentang demokratisasi Indonesia, mau tak mau mengingatkan saya pada permainan Jumanji. Setiap pemain menentukan langkahnya sendiri segera setelah melempar dadu. Setiap langkah senantiasa punya resiko; ancaman bahaya tersedia di setiap tahapan. Namun, permainan tak boleh dihentikan hingga para pemain mencapai Jumanji: Sebuah kota idaman dengan gedung-gedungnya yang bermahkotakan menara-menara terbuat dari emas.
Bagi Cak Nur, tak ada langkah mundur dalam menjalani demokratisasi. Kesadaran, kesabaran dan kesediaan kerja keras mesti disediakan untuk menjalani jalan demokratisasi yang berat, panjang dan berliku. Untuk menggarisbawahi kesadaran akan keterbatasan modal, perlunya kesabaran dan kerja keras, dalam berbagai kesempatan Cak Nur mengingatkan bahwa sangat boleh jadi Indonesia membutuhkan rentang hidup satu generasi untuk mengkonsolidasikan demokrasi.
Tentang masa depan, Cak Nur merumuskannnya dengan ringkas sebagai “membangun kembali Indonesia” – yang rinciannya sudah banyak diberitakan dan dibahas di tengah persiapan Pemilu Presiden, 2003-2004. Bagi Cak Nur, Indonesia yang demokratis, terbuka dan adil bukanlah sesuatu yang mustahil.
Dalam pesannya untuk peringatan 60 tahun Indonesia merdeka, 12 hari sebelum wafat, Cak Nur menandaskan: “Diperlukan kekuatan besar dan tangguh untuk mengatasi persoalan bangsa kita. Kekuatan itu, Insya Allah, bisa terwujud dengan adanya peneguhan kembali ikatan batin semua warga negara pada cita-cita nasionalnya, disertai pembaruan tekad bersama untuk melaksanakannya.”
Selamat jalan Cak Nur. Semoga kita yang ditinggalkan pandai memelihara ingatan dan dengan itu bisa memenangkan perkelahian dengan waktu.
Sumber: Koran Tempo, 30 Agustus 2005
Tulisan ini pernah dimuat di laman: https://www.tempo.co/arsip/cak-nur-pemelihara-ingatan-1987415
