Haul Cak Nur ke-13. “POLITISASI AGAMA: Membaca Kembali ‘Islam, Yes; Partai Islam, No!'”

Haul Cak Nur ke-13

“POLITISASI AGAMA:
Membaca Kembali ‘Islam, Yes; Partai Islam, No!’”
Granada Ballroom, Lt. 1, Menara 165
Jl. TB Simatupang Kav. 1, Cilandak, Jakarta Selatan

 

Tahun 1970, Cak Nur mengeluarkan salah satu risalah penting, yaitu “Islam, Yes; Partai Islam, No!”. Lewat dentuman jargon itu, Cak Nur hendak mendobrak model berpikir simbolis sebagian umat Muslim mengenai Islam dan politik seraya memecah batu kejumudan berpikir agar umat Muslim Indonesia mampu bangkit dan bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Apa yang disampaikan Cak Nur bukan untuk mempertentangkan Islam dan politik, melainkan sebagai bentuk kritik terhadap kiprah partai Islam yang kurang berkontribusi bagi kemajuan umat Islam. Partai Islam saat itu belum aspiratif dan menjadi harapan bagi warga bangsa. Pun ketika itu, Partai Islam belum dapat secara baik ‘membumikan’ bahasa agama ke dalam tatanan masyarakat Indonesia yang multikultural.

Untuk memecah kejumudan itu, umat Muslim perlu melakukan disebut Cak Nur sebagai sekularisasi, sebuah proses pemikiran yang membedakan urusan agama dengan masalah politik. Sebab, kualitas keberagamaan seseorang tidak ditentukan oleh apakah ia menjadi anggota atau memilih—pada waktu Pemilu misalnya—partai politik Islam atau bukan.

Narasi “Islam, Yes; Partai Islam, No” boleh dikatakan menyebabkan posisi Islam politik di Indonesia melemah. Tetapi, sahabat dekatnya, Almarhum Dawam Rahardjo, menyebut bahwa dengan “Islam, Yes”, Cak Nur pantas dianggap sebagai “pembela Islam” dalam mekanisme demokrasi. Namun, Cak Nur di sisi lain bukanlah pembela kemapanan (establishment). Buktinya, pada Pemilu 1971, dengan berani Cak Nur mendukung PPP, bukan Golkar yang sangat kuat saat itu. Jelasnya, apa yang dilakukan Cak Nur saat itu, tidak lain untuk ‘memompa ban kempes’, menjaga adanya keseimbangan kekuatan politik tanah air. Dengak kata lain, ikutnya Cak Nur bukan untuk karena bernafsu untuk meraih kursi kekuasaan, melainkan menambah kekuatan bagi PPP agar tidak terlalu senjang dari Golkar yang begitu dominan.

Bagaimana relevansinya dengan situasi saat ini? Lewat ungkapan di atas, Cak Nur hendak menawarkan perspektif tentang Islam yang lebih substansial ketimbang simbolis belaka. Perspektif yang berdasarkan pada nilai-nilai universal dalam Islam bukan kepada simbol “partai Islam” itu sendiri. Jika merujuk kepada situasi terkini, kritik Cak Nur itu masih tetap relevan.

Ungkapan Cak Nur soal simbolisasi Islam bukan melalui Partai Islam merupakan langkah maju. Menurutnya, akan lebih ideal jika Islam mampu memperlihatkan substansinya sebagai panduan moral dalam tindak-tanduk di ruang publik, ketimbang memperlihatkan bentuknya sebagai partai Islam.

Keberadaan partai Islam merupakan keniscayaan guna menyerap aspirasi umat saat ini. Namun, konstestasi dalam meraih jabatan publik atau kekuasaan pemerintahan tidak boleh menihilkan misi profetik dari partai yakni menaikkan martabat umat, menghadirkan kesejahteraan, menganjurkan harmoni dan toleransi dalam berkontestasi, serta mewujudkan keadilan bagi mereka. Sebab, jika partai Islam dibentuk sekadar untuk meraih kekuasaan saja lantas di mana letak kekhususan dan perbedaan antara partai nasionalis dan partai Islam?

Dalam istilah Cak Nur, umat Muslim harus memiliki psychological striking force dalam memperjuangkan aspirasi umat, dengan tidak terjebak kepada jumlah, tetapi berfokus pada mutu dan nilai-nilai kebaikan bersama. Para elit partai harus mampu menangkap semangat zaman dan menghadirkan aspirasi dan harapan umat Muslim menjadi kenyataan.

Kini, kian marak politisasi agama untuk menyerang lawan politik atau menaikkan elektabilitas partai atau seseorang. Alih-alih menjadikan Islam sebagai panduan moral saat berpolitik, para elit politik cenderung memanfaat umat Islam untuk kepentingan individual. Simbolisasi ini sangat berbahaya karena berpotensi memecah belah umat ke dalam dua kubu ekstrem yang saling bermusuhan. Ini dipastikan akan menghambat kemajuan umat Muslim Indonesia.

Kondisi tersebut memperlihatkan umat tak mampu berpikir jernih melihat jalin kelindan persoalan sosial-politik-agama yang demikian runyam. Itulah yang menjadikan argumentasi sekularisasi menjadi rasional. Urusan sosial—dalam hal ini negara atau politik—dapat dibedakan dengan urusan. Seperti kata Cak Nur, “Itulah dasar pandangan bahwa urusan dunia (umūr al-dunyā), seperti masalah kenegaraan, berbeda dari urusan agama (umūr al-dīn), meskipun antara keduanya tidak dapat dipisahkan” (Madjid dalam Islam, Doktrin, dan Peradaban, 1992).

Post a comment