Kajian TITIK-TEMU ke-39 “Keindonesiaan dan Keislaman”

Secara bahasa, kata keindonesiaan dan keislaman tidak memiliki pertalian semantik. Namun, dalam benak para pendiri bangsa, pemikir kebangsaan, negarawan, dan para pemuka agama, dua kata itu memiliki pertalian yang amat erat. Kecintaan terhadap bangsa Indonesia tak bisa dilepaskan dari spirit keagamaan yang telah tumbuh dan mengakar dalam jiwa bangsa Indonesia serta praktik sehari-hari warga. Sehingga kecintaan terhadap negara Indonesia tidak lepas dari religiusitas dan pengamalan nilai-nilai keagamaan. Hal ini tercermin dalam nilai-nilai otentik yang dianut bangsa Indonesia, yaitu Pancasila yang menjadi landasan hidup bersama. Terutama dalam Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam sila tersebut, negara berdiri berdasarkan prinsip-prinsip etik yang dianut oleh agama, yaitu prinsip ketuhanan.

Disadari betul oleh Almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur) yang menyatakan bahwa agama adalah sistem kepercayaan. Agama besar, menurut Cak Nur, memiliki dimensi moral yang besar untuk menompang peradaban yang besar. Namun, pemahaman agama yang dimaksud Cak Nur bukanlah pemahaman formal yang berakhir pada simbol semata. Tetapi pemahaman agama yang tercermin dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kehidupan yang toleran dan maju, terbuka dan beradab. Nilai-nilai keagamaan dipahami sebagai nilai etik yang berdenyut dalam nadi kehidupan berbangsa-bernegara.

Tetapi, menilik pada perjalanan bangsa Indonesia belakangan ini, sepertinya konsep pendiri bangsa dan pemikiran para guru bangsa itu tidak mudah diwujudkan. Perjalanan jauh ke depan sepertinya bakal disertai pelbagai rintangan yang bermaksud menguji konsep tersebut. Adakah keindonesiaan dan keislaman berpadu dalam manusia Indonesia kini? Saat di mana menjamurnya gerakan fundamentalisme agama dan primordialisme kesukuan hadir dengan narasi-narasi fanatisme.

Banyak kalangan menilai, suara-suara itu muncul sebagai konsekuensi dari bentuk kekecewaan atas kondisi sosial, ekonomi, hukum, politik Indoneisa yang semakin terpuruk dan carut marut. Tetapi banyak juga yang khawatir pada rupa Islam Indonesia saat ini di tengah maraknya kasus intoleransi.

Adakah keislaman kini dimaknai sebagai gerakan formil dan politis yang seakan dianggap tantangan dalam kehidupan keragaman Indonesia? Bukan lagi dianggap sebagai gerakan etis yang membangun karakter bangsa Indonesia yang mencintai negara dan mencintai perbedaan.

Kegelisahan atas kondisi sosial kini itulah yang menjadi dasar pemikiran Kajian Titik-Temu ke-39 digelar. Nurcholish Madjid Society berkomitmen untuk terus memajukan dialog peradaban yang terbuka, jujur, adil, bebas, demokratis dan toleran. NCMS diharapkan mampu mengembangkan pemikiran religius, humanis, inklusif-pluralis, dan non-sektarian, demi terwujudnya dunia yang damai, adil dan beradab.

Post a comment