Saat Sidang Umum MPR bulan Oktober tahun 1999 berlangsung. Nurcholish Madjid (61) menolak untuk diunggulkan menjadi calon Presiden RI 1999-2004. Cak Nur—begitu dia akrab dipanggil—juga menolak tawaran mantan Presiden Soeharto duduk di Komite Reformasi.
Keteguhannya memegang prinsip, sikapnya yang “lurus”, tidak terbawa arus perebutan kekuasaan, menempatkan dirinya sebagat “guru bangsa”, yang menyuarakan ajaran-ajaran bijak bagi seluruh anak negeri, tempat bertanya berbagai kelompok dan kalangan masyarakat.
Kesederhanaan menjadi ciri yang segera tampak dalam keseharian Cak Nur dan keluarganya. Halaman rumahnya sejuk dan rimbun oleh pohon mangga, rambutan, jambu, serta beberapa tanaman anggrek di Jalan Johari I Tanah Kusir Jakarta. Di areal seluas 300 meter persegi ini mereka tinggal sejak tahun 1976. Ruang tamu ditata bersahaja, berisi seperangkat meja dan kursi bergaya Betawi dengan jok kain tenun putih, ditambah kursi panjang dengan warna senada, lemari buku, serta dua kaligrafi terpajang di dinding. Di ruang keluarga, yang di salah satu sisinya dialasi permadani untuk kegiatan sholat, hanya diisi piano dan sebuah sofa. Sementara dapur kering sekaligus menjadi ruang makan keluarga. Dua mobil, sedan Honda Accord hitam dan Toyota coklat muda, terparkir di garasi belakang.
***
Setiap hari aktivitas Cak Nur dimulai pukul 04.00. Menunggu datannya Subuh, la membuka laptop, memeriksa file katalog buku-buku koleksinya, atau membaca informasi yang ada pada CD Rom koleksi- nya.
“Cak Nur memang begitu, bangun tidur jam 04.00 langsung kerja, apalagi kalau ada makalah yang harus disiapkan, paling tidak dua minggu persiapannya, mulai dari mengumpulkan bahannya. Rata-rata baru tidur pukul 24.00, bahkan sering juga pukul 01.00,” tutur Omi Komariah (51), yang akrab dipanggil Mbak Omi, istri Cak Nur kepada Kompas yang sepanjang Kamis (5/10) sore hingga malam, dan sepanjang hari Jumat (6/10) mengikuti kegiatan Cak Nur.
Sepanjang pagi hingga pukul 09.20 WIB, diselingi Sholat Subuh, mandi, dan minum teh, Cak Nur berkutat di ruang berukuran kurang lebih 25 meter persegi di lantai II di bagian belakang rumahnya. Di ruangan berlantai keramik coklat kemerah-merahan, dengan rak berisi sekitar 5,000 buku di sepanjang tiga sisi dindingnya, kursi malas hijau, serta meja dan kursi kerja, dan putaran kipas angin yang tergantung di langit-langitnya, Cak Nur bisa seharian bekerja. Pukul 09.20 Cak Nur mengisi tas kerjanya dengan laptop dan sarung bersiap-siap ke Kantor Yayasan Wakaf Paramadina di bilangan Pondok Indah Jakarta. “Karena hari Jumat, pakaian dinas saya baju koko,” katanya. Hari itu, dia tampil dengan baju koko biru keabu-abuan dipadu celana hitam dan kopiah.
Tepat pukul 09.30, bersama Mbak Omi dan Kompas, Cak Nur berangkat ke Paramadina. “Saya tidak pernah punya sopir, sejak dulu menyetir sendiri, tutur Cak Nur yang dilahirkan di Desa Mojoanyar Kabupaten Jombang Jawa Timur, 17 Maret 1939 sebagai sulung keluarga Abdul Madjid. Perjalanan ke Paramadina di Pondok Indah Jakarta ditempuh sekitar 25 menit. Cak Nur tipe pengemudi yang toleran, setidaknya, saat sebuah truk pengangkut besi beton mendahuluinya dari sebelah kiri dengan tiba-tiba, dia hanya berkata, “Dia memburu waktu karena harus tepat waktu mengantarkan muatannya.”
Di Paramadina empat anggota DPR yang ingin berdialog dengan Cak Nur telah menunggu. Ia menerima mereka di ruang kerjanya yang berhias lukisan laut, perahu, dan miniatur kapal produksi PT PAL. Pukul 11.45 ia mengajak tamunya Sholat Jumat di Paramadina. Seperti biasa, hari itu ia memberi Khotbah Jumat, dan berdialog dengan jemaah. Mbak Omi berpamitan untuk membeli ubin bagi rumah barunya.
Pukul 12.50 dialog dengan jamaah Jumat berakhir, sudah ada tamu yang menunggu. Di sela-sela itu ada telepon dari Bank Dunia. Usai menerima tamu, Cak Nur mengirim surat ke Saudi Arabia melalui faksimili untuk rencana perjalanan umrohnya akhir bulan Oktober. Ditemani Kompas, dan Rahmat, staf Paramadina yang juga bertugas menyusun jadwal kegiatan Cak Nur, Rektor Universitas Paramadina Mulya ini menikmati makan siang menu Sunda nasi, ayam goreng, sambal, sayur asam, lalapan, dan segelas air jeruk hangat. “Cak Nur sih makannya gampang, menunya apa saja yang bisa dibeli di sekitar sini. Biasanya gado-gado, tapi hari ini enggak jual,” tutur Rahmat
Sambil menghabiskan makan siangnya, Cak Nur melayani wawancara sebuah harian ibukota, menerima Rizal Panggabean, Koordinator Voice Center M. Ikhsan, dan beberapa orang lainnya. Rizal meminta kesediaan Cak Nur ikut memberi dorongan untuk penyelesaian pertikaian horisontal di Maluku dengan datang ke wilayah tersebut, Cak Nur menyatakan kesediaannya, namun harus dicari waktu yang tepat.
Sekitar pukul 15.10 Cak Nur bersama Mbak Omi pulang “Kalau hari Jumat agak ringan, ada suasana istirahat, yang padat itu Selasa, Rabu, dan Kamis,” tutur mantan Presiden Persatuan Mahasiswa Islam se Asia Tenggara, yang salah satu wakilnya adalah mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Dalam perjalanan pulang Cak Nur menceritakan masa kanak-kanaknya sebagai anak petani, yang membuatnya cinta pada pertanian. Kenangan itu membuat Cak Nur mengisi waktu senggangnya dengan merawat tanaman yang tumbuh di halaman rumahnya. Sekitar enam bulan terakhir, Cak Nur juga memelihara ikan di kolam kecil di halaman belakang rumahnya. “Ada keinginan beli sawah, biar sekali-sekali menikmati kenangan masa kecil, tapi harga sawah kan mahal,” tutur mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ini.
Menikmati suasana rumah adalah bagian dari kebahagiaan ayah Nadia (30) dan Ahmad Mikail (26). Cak Nur mengaku sebagai “orang rumahan”. “Kalau di rumah biasanya banyak berada di depan komputer. Tidak mengerjakan apa-apa, hanya membuka CD Rom. Selain buku, saya mengoleksi CD Rom terutama tentang Islam. Di luar negeri, terutama AS banyak CD Rom berbahasa Arab yang bagus, yang bermanfaat untuk penelitian,” ungkapnya. Sebelum ada CD Rom bila melakukan perjalanan ke luar negeri, staf ahli IPSK LIPI ini selalu “berburu” buku.
“Investasi saya terbanyak pada buku, mungkin harganya sudah lebih dari rumah,” katanya. Hal itu dibenarkan oleh Mbak Omi, “Kalau ke luar negeri uangnya habis untuk buku dan CD Rom. Saya dan anak-anak paling dioleh-olehi coklat, sekarang ada tambahannya bedak.”
Hobi lainnya membetulkan listrik. Ujar mantan Ketua Umum Pengurus Besar HMI dua periode ini, “Prinsipnya, setiap rumah tangga harus bisa meng- urusi rumah tangganya sendiri.”
Sehari sebelumnya Cak Nur dengan cekatan mengatur penempatan mesin cuci yang baru dibell Mbak Omi. Saat itu, sekitar pukul 17.00 Cak Nur sedang menerima rombongan ibu-ibu yang bergerak dalam bidang konsultasi pernikahan. Mereka meminta kesediaan Cak Nur menjadi pembicara dalam seminar tentang pendidikan pra nikah.
Alumnus Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga punya hobi mengutak-atik mobil.
“Service kecil-kecilan biasanya saya lakukan sendiri Saya tidak pernah belajar khusus, ini kan ilmu katon (kelihatan-Red). Asal senang memperhatikan, akan tahu cara bekerjanya mesin,” ungkap Cak Nur yang meraih gelar doktor di Universitas Chicago AS tahun 1984 dengan disertasi Kritik Ibn Taymiyah terhadap Teologi Scholastik dan Filsafat Islam.
Pukul 15.45 perjalanan berakhir di depan pintu halaman. Rumah terasa lengang “Sehari-hari kalau nggak ada tamu ya cuma ada saya dan Cak Nur. Mikail pulangnya malam,” tutur Mbak Omi. Nadia telah menikah dan kini bekerja di Voice of America di Washington DC setelah menyelesaikan program S-2 nya di negeri itu. Sedangkan Mikail bekerja di ABN-Amro Bank.
Setelah shalat Ashar dan beristirahat, Cak Nur menuturkan pertemuannya dengan Mbak Omi, yang telah mendampinginya 31 tahun.
“Waktu itu, ada pamannya Mbak Omi yang aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia-Red) di Madiun. Saya berkunjung ke tempatnya tahun 1968, dia mengajak saya bertemu dengan keponakannya,” ungkapnya. “Mbak Omi itu anak orang kaya, bapaknya punya penginapan dan bioskop, namanya Bioskop Rahayu di Madiun, Saya menginap di penginapannya, tidak boleh membayar malah diajak ke rumahnya, eh di sana ada gadis lemu (gemuk-Red) ginuk-ginuk ha.. ha… ha” Mbak Omi menangkis, “Nggak, nggak begitu Papa yang ngirim surat, ada lima, semuanya masih ada, kertasnya tipis warnanya ada yang putih, merah muda, biru, dan hijau. Ketikannya jelek, hurufnya melompat-lompat. Waktu itu kesal kalau terima suratnya, soalnya menggurui. Saya pikir siapa orang ini kok menggurui,” ungkap Mbak Omi yang kini ikut mengelola lembaga pendidikan Madania.
Menurut Mbak Omi, ayahnya mengingatkan bahwa dia menikah dengan orang perjuangan, yang tidak memiliki banyak uang, harus bisa menyesuaikan din. Katanya, “Saya berusah menyesuaikan diri. Waktu diajak pindah ke Jakarta, saya tidak membawa apa-apa, baju saja cuma dua. Kami tidak punya apa-apa, cuma tikar, piring dua, kami tinggal di Tebet, di rumah yang dipinjami oleh seseorang.”
Mbak Omi sadar dia harus pandai-pandai mengelola keuangan keluarga, karena itu, kala mengikuti Cak Nur melanjutkan pendidikan di AS, Mbak Omi menabung semua hasil yang diperolehnya dari bekerja mengasuh anak. Dari pekerjaan itu, Mbak Omi bisa mengumpulkan 4.500 dollar AS. Tuturnya, “Uang itu dipinjam Cak Nur untuk beli buku, katanya nanti di Indonesia diganti, tetapi tidak pernah diganti.”
Situasi agak berubah ketika Cak Nur pulang dari AS. Kata Mbak Omi, “Saya kaget, kok Cak Nur dapat uang setelah ceramah. Karena itu, dari tahun 1984 saya memaksa diri sendiri setiap bulan menabung 100 dollar AS untuk sekolah anak- anak,” kata Mbak Omi.
“Waktu krismon (krisis moneter-Red), Mikail membujuk Mamanya supaya beli rumah Katanya, sekolah ada yang membiayai, kalau beli rumah siapa yang mau membelikan. Mbak Omi nurut,” tambah Cak Nur.
Waktu terus bergulir, memasuki waktu Magrib Cak Nur dan Mbak Omi melaksanakan ibadah Magrib. Usai itu, kembali Cak Nur berkutat di ruang kerjanya “Kalau tidak ada acara di luar, saya membaca atau menulis. Nonton TV hanya untuk berita,” ujarnya.
Kecintaan pada suasana rumah, membuatnya selalu akrab dengan anak-anaknya. “Dulu waktu mereka kecil sering jalan bersama, setelah besar mereka punya agenda sendiri-sendiri,” ungkap alumnus Pondok Pesantren Gontor itu. Namun, keluarga ini masih menyempatkan untuk sesekali meluangkan waktu bersama. “Paling sering mengajak makan bersama. Supaya menarik, cari tempat yang eksotik tetapi dalam batas yang wajar, ke Bakmi Gajah Mada, atau Sizzler, anak-anak suka bisa makan salad sepuasnya. Atau, sekali-sekali sedikit bernostalgia pada masa kecil mereka di Chicago, kita ke Chicago Ribs. Anak-anak punya ikatan emosional dengan Chicago,” ungkap Cak Nur yang menggunakan Bahasa Inggris untuk berkomunikasi dengan anak anaknya.
***
Di hari Jumat yang tidak terlalu sibuk itu Cak Nur memaparkan berbagai pandangan dan sikapnya, termasuk penolakannya diunggulkan menjadi calon presiden. “Waktu itu saya katakan pada Gus Dur (Presiden Abdurrahman Wahid-Red), saya jadi makmum saja, karena dia menyatakan ingin jadi presiden. Agama mengajarkan, tidak boleh ada dua imam. Gus Dur ingin jadi presiden, ya saya jadi makmumnya.”
Apakah semua ini telah melegakan Anda?
Ada kekhawatiran Sikap Gus Dur yang semula sebagai gaya pribadi, kalau berlangsung lama lambat laun akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar, akhirnya tersistemkan. Ketika Pak Harto (mantan Presiden Soeharto-Red) menunjukkan gaya pribadi kepemimpinannya yang “Jawa”, orang keberatan tetapi tidak menghentikannya. Lama-kelamaan yang pribadi itu menjadi sistem. Sekarang pun bisa terjadi yang demikian, yang akan memberatkan perjalanan kita selanjutnya.
Sekarang saat tepat memulai segalanya dengan benar. Karena itu, berulangkali saya bilang, pers bebas harus difungsikan sebagai kekuatan keempat. Kontrol sosial oleh pers harus dimobilisir. Mencegah agar gaya pribadi tidak menjadi sistem. Kita harus terus menerus meneriaki segala sesuatu yang tidak benar. Jangan ada kesempatan rakyat menganggap yang tidak benar itu menjadi wajar.
Kepemimpinan sangat penting?
Ya. Saya khawatir dalam kurun waktu empat tahun yang tersisa ini kita menjadi terbiasa dengan gaya pribadi presiden. Apalagi, bila empat tahun itu menjadi persiapan untuk menciptakan suatu sistem yang melanggengkan dirinya sendiri, seperti yang dilakukan Pak Harto. Kalau itu terjadi, waktu yang dibutuhkan untuk memperbaikinya memakan waktu satu generasi
Melihat situasi sekarang, apa yang sesungguhnya Cak Nur bayangkan ketika melancarkan aksi reformasi damai dua tahun lalu?
Ini soal pembaruan, segalanya menjadi relatif baru buat kita. Rakyat dibesarkan dalam pengalaman pemerintahan yang sentralistik, yang membuat rakyat kehilangan kemampuan mengambil insiatif dari bawah. Situasi rakyat yang terbiasa nyadong (menengadahkan tangan-Red) bertemu Gus Dur yang begitu. Menarik menyimak kebijakan Deng Ziao Ping memahami situasi rakyat Cina yang sudah terlalu lama hidup dalam pemerintahan Komunis yang sentralistik, tidak terbiasa mengambil inisiatif dan nyadong. Deng melatihnya dengan program sangat sederhana, mengajak rakyat menanami setiap lahan yang kosong dengan apa saja, dan untuk apa saja. Dengan cara itu rakyat dilatih mengambil inisiatif dan keputusan sendiri.
Sebetulnya kalau Pak Harto seperti Deng Ziao Ping, dia bisa memulainya tahun 1988. Karena itu, tahun 1986 saya mendorongnya dengan bicara soal keterbukaan, soal Pancasila sebagai ide terbuka, soal oposisi dan sebagainya. Waktu itu, dalam hati saya mengatakan alangkah baiknya kalau Pak Harto mengangsurnya, supaya nanti baik rakyat maupun dia tidak kaget. Rupanya Pak Harto bukan Deng Ziao Ping, dia memilih diturunkan.
Persoalannya kembali pada kepemimpinan…
Kritik saya, Gus Dur tidak tampil dengan visi-visi yang overaching, yang serba meliputi, yang bisa jadi referensi umum. Bung Karno punya kelebihan di situ, meski harus didampingi Bung Hatta dalam segi teknis. Namun, soal visi tetap Bung Karno referensinya. Tampaknya Gus Dur tidak bisa melakukannya, tidak bisa menjadi inspirasi bagi rakyat. Bisa saja beberapa orang memberi inspirasi bagi orang banyak, dampaknya kecil. Seperti mematikan lampu di aula, ada dua cara, diputar satu persatu bola lampunya tetapi butuh waktulama. Ada yang lebih efektif dan cepat, cari tombolnya dan tekan. Tombol itu adalah pemimpin yang punya kekuasaan.
Banyak orang berharap Anda dapat menyelesaikan persoalannya, sampai persoalan negeri ini. Apakah ini akibat posisi Anda?
Itu biasa terjadi pada kyai, bahasa modernnya konsultan, tetapi kalau konsultan hubungannya kontraktual, kyai tidak. Kira-kira saya masih berada di daerah itu, mesti tidak perlu disebut kyai. Itulah penerimaan masyarakat terhadap saya. Ini persoalan psikologis. Sama seperti posisi Gus Dur di mata orang kebanyakan. Saya saja yang anak orang biasa dilihat seperti itu, apalagi Gus Dur yang cucu langsung dari seorang kyai besar, bisa dibayangkan.
Hubungan antara rakyat dan pemimpin yang demikian apakah membantu proses demokratisasi kita….
Demokrasi tidak bisa tumbuh kalau hubungan rakyat-pemerintah, pemimpin-yang dipimpin tertutup, kharismatis, satu arah, atas memerintah-bawah taat. Demokrasi tumbuh dalam hubungan terbuka, kontraktual, rela sama rela, bukan absolut, tetapi relatif dan relasional. Itu baiat, atau transaksi, seperti Nabi Muhammad SAW membaiat orang-orang di Madinah, yaitu mereka dapat sesuatu dari Rasulullah, dan Rasulullah dapat proteksi.
Dalam masyarakat feodal paternalistik hubungannya tertutup, satu arah, monolinier, dan kharismatis. Pak Harto, Gus Dur itu begitu. Habibie sebenarnya dalam hal ini lumayan, tapi dari segi lain dia ngawur, mungkin karena panik akhirnya “main” uang.
Sekarang saat terbaik memulai segalanya dengan benar. Pepatah Afrika mengatakan, saat terbaik menanam pohon adalah 20 tahun lalu. Kalau 20 tahun lalu tidak kamu lakukan, sekaranglah saat terbaik. Mumpung kita sudah bertekad berdemokrasi, dan sedang bereksperimen. Cuma, kita terbentur gaya kepresidenan yang tidak positif. Kita butuh etos bertanam. Seperti menanam kelapa, berbuah baru lima tahun lagi, dalam lima tahun tidak ada yang bisa dinikmati, kita hanya menyiram dan memeliharanya. Apalagi dalam politik, yang menanam hari ini harus rela tidak menikmatinya, menunda kesenangan demi anak cucu, bukan berarti menumpuk kekayaan untuk anak cucu.
Mengingatkan Gus Dur?
Kalau dengan Pak Harto mudah sekali saya mengambil jarak, dengan Gus Dur tidak. Begitu pula Gus Dur, karena itu dia tidak pernah marah kepada saya, dan tidak bisa menarik garis demarkasi.
Terus terang, selain dia sendiri punya potensi, banyak hal yang diambilnya dari saya, seperti ide toleransi, pluralisme. Itu bahasa-bahasa yang kita sosialisasikan kepada Gus Dur melalui Majelis Reboan. Setelah pindah dari Jombang ke Jakarta dia tidak punya forum yang serius, lalu, kita ciptakan antara lain Majelis Reboan. Karena itu ada banyak kesamaaan kami, antara lain, toleransi, inklusivisme.
Selain itu saya dan dia berasal dari satu “keluarga”. Ayah saya Masyumi, tetapi budayanya NU. Kalau kami “bertengkar” itu seperti perseteruan keluarga akan sengit. Apalagi dalam “kacamata”nya, saya mewakili satu kelompok. Masyumi, HMI, luka lama akan terbuka lagi.
Apakah ini pula alasan Anda beberapa waktu lalu mengingatkan agar Amien Rais dan Gus Dur tidak memulai konflik terbuka?
Kritik Amien Rais yang keras dan terbuka, membuat orang NU “pasang kuda-kuda”, kalau Gus Dur jatuh, mereka langsung menunjuk Muhammadiyah. Situasinya akan lain, jika Amien Rais dengan kebesaran hati mengakui turut bertanggungjawab terhadap kepemimpinan Gus Dur yang tidak kondusif untuk cita-cita reformasi. Konsekuensinya mundur dari Ketua MPR, evaluasi terhadap Gus Dur lebih mudah.Kini, apapun yang Amien lakukan tidak jernih diterima, karena dia bertanggungjawab Gus Dur terpilih. Tidak saja sebagai Ketua MPR tetapi juga penggagas Poros Tengah. Jika dia melakukan seperti saya bayangkan, posisi moralnya sangat tinggi. Kalau sekarang menabung risiko, sebab bisa menjadi konflik horisontal.
Pewawancara: Elly Roosita
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2000
