Islam dan Nilai-Nilai Kemanusiaan

Muhammad Chandra
Pondok Pesantren Dza ‘Izza, Daar el-Qolam 3
Kab. Tangerang, Banten

Tahun 2018 silam, ketika terjadi bencana gempa dan tsunami yang menimpa kota palu dan sekitarnya, saya berkesempatan untuk ambil bagian sebagai relawan. Selama kurang lebih dua minggu berada di wilayah terdampak bencana serta turut aktif pada beberapa proses evakuasi korban serta kegiatan-kegiatan sosial lainnya, saya mendapati banyak persentuhan dengan para relawan lainnya yang notabene berasal mulai dari organisasi kemasyarakatan sampai organisasi-organisasi keagamaan. Realitas tersebut, pada gilirannya mengantarkan saya pada kesadaran betapa hal-hal yang berkenaan dengan manusia dan kemanusiaan menjadi fokus perhatian masyarakat publik terlepas dari latar belakang apapun. Baik mereka yang berlatar belakang organisasi sosial kemasyarakatan, politik, aparatur negara, maupun keagamaan. Terlepas dari kepentingan apapun, pada kenyataannya seluruh kegiatan yang dilakukan beorientasi pada tujuan yang sama, yaitu upaya penyaluran bantuan (baik logistik maupun medis) dan pemulihan sekaligus pembangunan kembali bagi wilayah terdampak. Dari berbagai kegiatan yang dilakukan, dapat kita saksikan bahwa kemanusiaan beserta nilai-nilai yang membersamainya menjadi etos utama pada proses mitigasi kebencanaan sekaligus kegiatan bantuan kemanusiaan tersebut.

Tidak heran kiranya jika kita menyaksikan betapa umat beragama saling berlomba-lomba menyalurkan bantuan dan dukungan dalam setiap persoalan kemanusiaan. Selain daripada dorongan nurani individunya sebagai makhluk sosial, nilai “welas asih” yang dibawa oleh setiap agama barangkali menjadi faktor penggerak utama masalnya aktivitas kemanusiaan tersebut. Sikap “cinta” dan “kasih sayang” terhadap sesama manusia, serta kepedulian terhadap persoalan-persoalan sosial, barangkali merupakan semacam “ajaran umum” yang dapat kita temui pada semua bentuk sistem keagamaan.

Di dalam Islam sendiri, ajaran seperti –sebagai conth- dapat kita lihat jelas dari hadis yang disampaikan Abdullah bin Umar bin al-‘Ash dari Nabi SAW : “sayangilah (seluruh) penghuni di bumi, niscaya penghuni langit akan menyayangimu”. Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “penghuni bumi” ialah “Adamiy” (keturunan Adam) dan “hayawan” (makhluk hidup selain manusia). Makna hadis tersebut ialah seruan untuk berbuat baik (menyayangi) kepada seluruh makhluk sekalipun “ghairu ‘aqil” (tidak berakal) dengan penuh kasih sayang. Term “penghuni langit” mengisyaratkan besarnya balasan atas perilaku rahmat dari makna tersirat yang dapat dipahami bahwa “penghuni langit” lebih banyak (kuantitasnya) dibanding dengan “penduduk bumi”. (Nawawi, 2010)

Kiranya kita telah sepakat bahwa Islam sebagai suatu sistem kepercayaan yang sumbernya berasal dari teks-teks langit merupakan Rahmatan lil ‘Alamin yang dengan konsepsi tersebut maka peran Islam untuk dapat masuk kedalam seluruh lini kehidupan merupakan suatu keharusan tersendiri yang perlu diejawantahkan di tengah-tengah kemajemukan kehidupan manusia. Paradigma ini seyogyanya sudah harus menjadi bagian dari diri seorang muslim, baik dalam tataran ideologisnya juga dalam tindak-tanduk perbuatannya. Artinya, seorang muslim dengan kesadarannya harus mampu mewujudkan nilai-nilai berkehidupan yang mampu menjadi rahmat tidak hanya bagi dirinya sendiri ataupun bagi sesamanya (sesama muslim). Namun juga bagi seluruh manusia, terlepas dari apapun sistem kepercayaan yang dianutnya. Bahkan lebih luas lagi, seorang muslim harus mampu mewujudkan nilai-nilai rahmat dalam perilakunya tersebut yang dapat dirasakan oleh seluruh makhluk, tanpa terkecuali.

Kita dapat melihat bagaimana Al-Qur’an menyerukan untuk menghindari sikap “saling memperolok” antar satu golongan dengan golongan lainnya. Seruan ini tergambar jelas pada Q.S. Al-Hujurat : 11. Dalam ayat tersebut terlihat jelas pandangan bahwa Islam hendak mengedepankan sikap “husnu dzan” bagi umatnya dalam konteks kehidupan sosial dengan tidak memandang golongan lain lebih rendah dari golongannya. Ayat tersebut juga menekankan untuk menjauhi sikap “saling cela”, di mana suatu perselisihan antar golongan seringkali timbul dari sikap tersebut.

Dalam hubungan dengan sesama manusia, Islam telah menjelaskan secara eksplisit di dalam Al-Qur’an hal yang menyatakan bahwa sejatinya seluruh manusia memiliki tingkat (derajat) yang sama dan setara. Tidak ada satu golongan manusia yang lebih mulia – atau paling tidak merasa bahwa golongannya memiliki keutamaan dari golongan manusia lainnya. Nilai kesetaraan tersebut secara jelas disampaikan pada Q.S. Al-Isra : 70. “Dan Sungguh, telah Kami muliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. Redaksi pada ayat tersebut menggunakan term “anak cucu Adam” dalam merujuk pemaknaan terhadap “manusia”. Kemuliaan yang dimiliki oleh setiap manusia bukanlah hasil perolehan dari selainnya, melainkan sebab dari penciptaan mereka yang disempurkan dan jadikannya unggul dari -ciptaan- makhluk selainnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Ibn Katsir dalam tafsirnya terhadap ayat di atas. Dengan demikian, maka nilai kesetaraan di antara manusia merupakan aspek primordial yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh seluruh manusia tanpa memandang latar belakang sejarah, budaya, agama sekalipun.

Dengan menjadikan nilai kesetaraan antar sesama manusia sebagai paradigma dalam berkehidupan akan mampu mengantarkan manusia pada perwujudan kehidupan yang berkeadilan, yang pada gilirannya diharapkan dapat membentuk suatu masyarakat yang ideal dengan nlai-nilai yang dicita-citakan. Masyarakat yang sarat akan nilai egalitarianismenya. Yang berpandangan bahwa kemaslahatan manusia merupakan aspek yang harus diutamakan dalam setiap perilaku manusia itu sendiri.

Kemaslahatan manusia tersebut, sebagaimana telah disepakati oleh para ahli ushul fikih, merupakan tujuan daripada disyariatkannya Hukum Islam. Para ahli ushl fikih klasik, di antaranya As-Syatibi, secara umum mengklasifikasikan kemaslahatan tersebut pada lima hal, yaitu : Agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. (Munawar-Rachman, 2010). Atau yang umum disebut sebagai Maqāṣid Syarī‘ah. Maqāṣid Syarī‘ah sendiri merupakan tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah, dan umat. (Al-Qaradhawi, 2018)

Seiring dengan perkembangan kehidupan manusia yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka Islam harus mampu menghadirkan semacam jawaban atas problematika yang dihadapi oleh manusia. Ini menjadi tatangan tersendiri bagi Islam guna mampu mempertahankan eksistensinya sebagai suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh sekitar seperempat populasi umat manusia di dunia (Auda, 2015) di tengah pesatnya laju globalisasi dan modernisasi.

Maka dapat dikatakan, guna mempertahankan eksistensi tersebut serta dalam rangka mewujudkan idealisme agama yang mampu menjawab persoalan-persoalan kehidupan manusia, nilai-nilai di dalam Islam sudah seharusnya sejalan dengan nilai-nilai kemanusian. Dalam rangka ini, Islam harus mampu mengejawantahkan nilai-nilainya ke dalam sendi-sendi kehidupan manusia. dengan demikian, nilai-nilai Islam tersebut dengan sendirinya akan terinternalisasi ke dalam nilai-nilai yang berlaku di tengah kehidupan manusia.

Islam dengan metodologi Maqāṣid-nya yang diperkenalkan oleh para ahli -baik kalangan klasik maupun kontemporer- berupaya untuk mencapai “pembangunan” dan merealisasikan gagasan-gagasan mengenai “hak asasi manusia”. Dalam upayanya guna mengintegrasikan nilai-nilai hukum Islam dalam konteks persoalan kekinian, Islam –melalui para ahli- mengembangkan terminologi Maqāṣid yang lebih dekat dengan istilah kekinian.

Maqāṣid Syarī‘ah dapat digunakan sebagai metodologi dalam mengkaji sekaligus menjembatani hubungan antara Islam dengan nilai-nilai kemanusiaan yang hendak dihadirkan dikarenakan posisinya sebagai suatu metodologi berada pada tataran filosofis. Nilai-nilai dasar dalam Maqāṣid Syarī‘ah sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para ahli ushul fikih klasik, seperti : hifz ad-din, hifz an-nafs, hifz an-nasl, hifz al-mal, dan hifz al-aql, pada kenyataannya terus mengalami perkembangan dan perluasaan sesuai dengan konteks perkembangan zaman.

Pendekatan yang dilakukan oleh ulama kontemporer ialah dengan mendeduksi Maqāṣid langsung dari nash. Dari situ, mereka –Ibnu Asyur, misalnya- menyatakan bahwa syariat yang terkandung di dalam nash memiliki sejumlah nilai yang universal, di antaranya ; ketertiban, kesetaraan, kebebasan, kemudahan, dan pelestarian fitrah manusia. Ulama lainnya yang melakukan hal serupa, yaitu Yusuf al-Qaradhawi, berkesimpulan bahwa tujuan daripada syariat ialah; melestarikan akidah yang benar, melestarikan harga diri manusia dan hak-haknya, mengajak manusia untuk menyembah Allah SWT, menjernihkan jiwa manusia, memperbaiki akhlak dan nilai luhur, membangun keluarga yang baik, memperlakukan perempuan secara adil, membangun bangsa Muslim yang kuat, dan mengajak kepada kerjasama antarumat manusia. (Auda, Al-Maqasid Untuk Pemula, 2013)

Sebagai contoh, pada abad ke-20 Ibnu Asyur mengembangkan konsep Hifẓ ad-din menjadi “kebebasan kepercayaan-kepercayaan” dengan mengemukanan ayat Al-Qur’an “tidak ada paksaan dalam urusan-urusan agama” alih-alih konsep hadd al-riddah (hukuman pemurtadan) yang terkenal dalam fikih klasik sebagai hukuman bagi mereka yang meninggalkan Islam. Dengan demikian, konsep “kebebasan beragama” yang digaungkan dalam HAM dapat terejawantahkan pengaplikasiannya di dalam Islam. (Auda, Al-Maqasid Untuk Pemula, 2013). Eliwarti Maliki mengelaborasi Hifẓ ad-din (memelihara agama) menjadi haq attadayyun (hak beragama) yaitu hak untuk beribadah dan menjalankan ajaran-ajaran agama. Termasuk di dalamnya membangun pola relasi yang sehat dalam menjalankan agama, baik antar sesama agama maupun dengan orang beda agama. (Jamal, 2010).

Pengembangan terhadap nilai-nilai dari tujuan hukum Islam tersebut menjadi keharusan tersendiri dalam rangka mewujudkan Islam yang “sholihun li kulli zaman wa makan”, yaitu –ajaran- Islam yang senantiasa relevan pada setiap zaman dan tempat. Islam yang dapat selalu hadir memberikan solusi dan jawaban sebagai jalan tengah atas setiap problematika umat. Namun demikian perlu diperhatikan juga batas-batas penerapan Maqāṣid dalam menghadirkan relevansi tersebut agar nilai-nilai yang nantinya dihadirkan tidak berkesan “kebablasan”. Pemberian batasan tersebut dapat kita rujuk pada apa yang telah digarisbawahi oleh As-Syatibi, ia memberikan batasan antara wilayah ibadah dan wilayah muamalat ketika hendak memahami nash berdasarkan Maqāṣid. (Al-Syatibi). Di samping itu kita juga perlu merujuk kembali pada kaidah “al-muhafadzhatu ‘ala al-qadimi al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadidi ashlah”, yaitu suatu sikap dimana kita perlu untuk merawat tradisi -Islam- yang baik serta progresif terhadap setiap perubahan zaman (modernisasi).

Post a comment