Tanpa Kemanusiaan Islam Bukanlah Agama

Taslim Batubara
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Gondokusuman, Yogyakarta

“Bila Anda bertemu dengan siapa pun, Bila dia bukan teman seagama Anda,
Maka dia adalah teman Anda sekemanusiaan.”
(Quraish Shihab)

Sekitar 14 abad yang lalu, hadir tokoh inspiratif yang pada dirinya terpancar sinar ilmu dan keteladanan. Tokoh tersebut bernama Muhammad bin Abdullah. Dalam kepercayaan Muslim, Dialah sebaik-baiknya Nabi dan pejuang kemanusiaan di alam semesta ini. Lewat teladan yang diberikan oleh Sang Nabi, Islam tersebar ke berbagai penjuru dunia untuk menyampaikan pesan yang sama. Islam adalah agama kemanusiaan! Begitulah kira-kira pesan yang selalu disampaikan oleh para mubalig dan intelektual Muslim di seluruh dunia. Pesan ini seperti menjadi sebuah penguat, bahwa Islam memang datang untuk kemanusiaan. Apalagi pasca maraknya gerakan terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam, pesan ini serasa perlu dan harus lebih sering digaungkan oleh setiap Muslim.

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi persamaan. Dalam Islam, setiap manusia dinilai bukan dari identitas sosial yang melekat pada dirinya, tetapi lebih kepada ketakwaannya kepada Allah SWT. Hal ini yang pada awalnya membuat kehadiran Islam ditolak oleh para pembesar Quraisy. Selain itu, sebagai pembelajar sejarah, saya mengamati banyak kejadian dalam sejarah Islam yang menyiratkan pesan bahwa Islam adalah agama kemanusian. Beberapa kejadian tersebut di antaranya: Rasulullah SAW yang sering menyuapi pengemis Yahudi buta, fathu makkah, perebutan Yerussalem oleh Salahuddin al-Ayyubi, dan penaklukan Konstantinopel oleh Muhammad al-Fatih. Peristiwa yang saya sebutkan tersebut membuktikan bahwa Islam sebagai agama kemanusiaan. Dalam beberapa penaklukan tersebut, tidak terjadinya yang namanya pembantaian, namun lebih kepada pengampunan. Fakta ini diakui oleh banyak sejarawan, baik dari kalangan Muslim maupun Orientalis.

Dalam buku “Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia”, Nurcholish Madjid menyebutkan masih sering terjadi pertentangan dalam penentuan bentuk negara Indonesia, antara islamic state atau nation state. Pertentangan ini saya akui masih sering terjadi dalam diskusi akademik di banyak bidang. Padahal seharusnya perdebatan ini sudah lama selesai, namun masih ada saja pihak yang tidak belum menerima keputusan bersama ini.

Perihal ini, saya punya pengalaman pribadi terkait konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia.1 Pasca terjadinya bencana tsunami yang sangat dahsyat di Aceh pada tahun 2004. Provinsi Aceh saat itu porak-poranda dan hampir seluruhnya lumpuh. Sebelum kejadian tersebut, Aceh memang menjadi sebuah Daerah Operasi Militer (DOM). Akibat kebijakan tersebut, Aceh menjadi wilayah yang terisolir. Konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia dilatarbelakangi oleh ketidakadilan serta ketidaksetujuan pemerintah Indonesia atas keinginan menjadikan syari’at Islam sebagai dasar pemerintahan di Aceh. Konflik ini kemudian meluas menjadi konflik bersenjata dan berlangung secara berlarut-larut hingga memakan korban jiwa yang tidak sedikit.

Namun setelah terjadinya tsunami yang begitu dahsyat, seluruh dunia menyalurkan dan menerjunkan bantuannya untuk dapat membantu Aceh kembali bangkit dan pulih. Tsunami kemudian membuka mata para anggota GAM, bahwa seluruh dunia, tidak perduli ras, suku, dan agamanya menyalurkan bantuan secara besar ke Aceh. Setelah pulih, pihak GAM kemudian bersedia membuka kembali pintu diskusi dengan pemerintah Indonesia. Satu tahun kemudian, tepatnya pada 15 Juli 2005, dicapai kesepakatan antara pihak GAM dan Pemerintah Indonesia yang dikenal dengan nama “Perjanjian Helsinki”. Perjanjian ini mengakhiri secara penuh konflik di antara GAM dan pemerintah Indonesia.

Selain menjadi bencana yang dahsyat, rupanya tsunami memberikan sebuah angin kedamaian bagi Aceh dan Indonesia. Di kampus yang saya sebutkan tadi, tertulis jelas dalam beberapa prasasti “bantuan rakyat (negara yang memberi bantuan) untuk Aceh”. Rupanya atas nama kemanusiaan, seluruh dunia mau memberikan bantuan, untuk membantu saudara- saudaranya yang sedang terkena bencana. Pesan kemanusiaan ini yang kemudian juga berimplikasi terwujudnya kehidupan damai di Aceh sampai saat ini.

Pesan ini yang kemudian selaras dengan apa yang disampaikan oleh Nurcholish Madjid, bahwa nilai-nilai keagamaan hendaknya diwujudkan menjadi kemanusiaan yang aktif, menjiwai kegiatan manusia, serta mewujudkan apa yang dikenal dengan nama masyarakat yang adil dan makmur. Esensi kemanusiaan tidak terbatas pada pertumbuhan material semata, melainkan meliputi pengembangan sepenuhnya diri manusia itu sendiri dan pembebasannya. Sehingga manusia akan dapat menumbuhkan cipta-rasanya, mengembangkan bakat dan kecerdasan untuk menghayati kekayaan dan keindahan dunia.

Sebagai penutup, saya ingin menuliskan pesan Gus Dur yang terkait tentang kemusiaan, beliau berpesan: “memuliakan manusia berarti memuliakan pencipta-Nya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan pencipta-Nya”. Ketika kita memuliakan manusia, secara otomatis kita juga akan memuliakan agama ini. Maka dari itu, teruslah menebarkan pesan-pesan kemanusiaan. Ingatlah, di atas keberagamaan, masih ada kemanusiaan!

 

Post a comment